TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian (JGD) Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid menyebut wacana mengembalikan Dwifungsi Tentara Nasional Indonesia (dwifungsi TNI) harus ditolak karena hal itu sudah usang diterapkan dalam masyarakat madani.
Putri dari Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini mengatakan penempatan perwira aktif TNI pada jabatan sipil bisa menimbulkan dualisme kekuatan bersenjata dan kekuatan sipil. “Dampaknya akan terjadi tarik menarik kekuasaan,” kata dia usai acara memorial lecture Ziarah Pemikiran Gus Dur di University Club Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu, 23 Februari 2019. Acara ini merupakan rangkaian dari peringatan haul atau wafat Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Isu mengenai dwifungsi TNI ini marak setelah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto melemparkan gagasan ingin menambah pos jabatan baru bagi jabatan perwira tinggi di internal serta ke kementerian lainnya. Jabatan baru ini salah satunya bertujuan untuk menampung perwira tinggi yang bertumpuk di TNI.
Salah satu hal yang dilakukan untuk restrukturisasi ini adalah dengan merevisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan revisi UU TNI dianggap perlu untuk menyelesaikan masalah ratusan perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan struktural. Dengan merevisi UU TNI, perwira tinggi dan perwira menengah yang tanpa jabatan itu akan berkurang dari 500 orang menjadi 150 sampai 200 orang.
Alissa mengatakan bila secara struktural jabatan sipil dikuasai TNI, maka garis komandonya dipegang TNI. “Tentara berpotensi melakukan opresi terhadap kalangan sipil,” kata dia. Alissa setuju dengan gerakan masyarakat sipil yang kritis dan menolak wacana penempatan perwira aktif TNI di jabatan publik.
Sumber daya TNI, kata dia, lebih pas ditempatkan pada bidang-bidang yang membutuhkan keahlian khusus, contohnya untuk respon kedaruratan bencana, misalnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pemerintah harus memperjelas maunya seperti apa lewat wacana penempatan perwira TNI aktif di jabatan publik.
Dalam sejarahnya, masyarakat sipil menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI saat terjadi Reformasi 1998. Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang berkuasa sejak 1999 hingga 2001 mengembalikan tentara ke barak.
SHINTA MAHARANI (Yogyakarta) | SYAFIUL HADI